Sejak disahkan 7 November 2007, Peraturan Mendagri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, merupakan satu-satunya kitab suci yang dianut oleh seluruh rumah sakit pemerintah yang telah menerapkan atau baru akan mengimplementasikan pola pengelolaan keuangan BLUD. Disebut kitab suci, karena telah berlalu waktu yang panjang tanpa ada tanda-tanda dari si empunya untuk melakukan perubahan atau penyempurnaan. Padahal disisi lain berbagai interpretasi atau penafsiran dari berbagai praktisi, pengelola dan auditor sering berbeda yang berimplikasi pada ketidakjelasan substansi yang sebenarnya diinginkan oleh permendagri itu sendiri.
Nah disaat pengelolaan BLUD berjalan sesuai dengan interpretasinya sendiri, syukurlah pemerintah menerbitkan peraturan yang dimaksudkan sebagai pengganti yaitu Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 tanggal 27 Agustus 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah. Dengan terbitnya Permendagri ini, tentu saja diharapkan segala perbedaan penafsiran itu akan hilang dengan sendirinya. Namun benarkah demikian?.
Untuk menjawabnya tentu saja kita perlu tahu apa saja sih perbedaan penafsiran yang terjadi. Apakah permasalahan yang timbul dalam tataran praktik pada Permendagri 61 , seluruhnya telah dapat diatasi oleh Permendagri 79? Adakah jaminan seandainya Permendagri diberlakukan secara ketat, seluruh permasalahan warisan Permendagri 61 hilang dengan sendirinya, atau mungkinkah ada permasalahan baru yang timbul?
Postingan kali ini akan fokus menyajikan permasalahan pengelolaan ppkblud khususnya rumah sakit (yang memang diharuskan berbentuk blud agar dapat menjalankan fungsi operasional pelayanan kesehatannya) sebagai berikut:
- Permasalahan penyusunan, pengesahan dan penetapan RBA
RBA sebagai dokumen penganggaran BLUD senyatanya telah diatur dalam Permendagri 61. Maaf, bukan diatur, tapi disinggung. Kewajiban penyusunan, fungsi dan substansi isi/materi RBA telah gamblang disajikan. Namun rincian yang berupa prosedur, pihak yang terlibat dan penjelasan mengenai alasan diwajibkannya materi-materi minimal yang harus tercantum dalam RBA tak ada titik terangnya. Kementerian keuangan sebenarnya telah menyusun secara rinci mengenai prosedur penyusunan, pengesahan, penetapan dan perubahan RBA, namun diberlakukan terbatas hanya untuk BLU di lingkup kementerian keuangan.
Banyak rumah sakit daerah yang mencoba menyusun RBA dengan mengacu pada keputusan menteri keuangan tersebut. Suatu langkah inisiatif yang perlu diacungi jempol namun jarang didukung oleh para pengambil kebijakan daerah. Sehingga kebanyakan RBA yang mereka susun tidak memiliki dasar hukum/regulasi yang jelas tentang tata cara penyusunan, penetapan, pengesahan maupun perubahannya. Ketiadaan dasar hukum (berupa Perda) kerapkali memancing perdebatan pada saat pemberlakuan besaran ambang batas dan perubahan RBA baik antara eksekutif – legislatif maupun antar eksekutif sendiri, RSUD dengan bagian keuangan Pemerintah daerah.
- Fleksibilitas pengadaan barang dan jasa.
Permendagri 61/2007 mendorong RSUD yang telah berstatus BLUD penuh untuk menerapkan fleksibilitas pengadaan barang dan jasa yang sumber dananya berasal dari dana fungsional dalam salah satu pasalnya. Namun interaksi saya dengan pengelola ppkblud sampai dengan saat ini, tak satupun RSUD yang berani menerapkannya. Kekhawatiran mereka timbul karena adanya pandangan yang berbeda mengenai status dana fungsional yang mereka peroleh. Mereka yang berpendapat bahwa dana fungsional adalah bagian dari dana APBD, maka fleksibilitas pengadaan barang dan jasa merupakan mimpi saja. Karena dana fungsional adalah bagian dari dana APBD maka satu-satunya regulasi yang harus mereka anut dalam pengadaan barang dan jasa adalah Perpres terkait pengadaan barang dan jasa yaitu Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahannya, terakhir Perpres 12 Tahun 2021.
- Penggunaan standar akuntansi BLUD.
Permendagri 61/2007 jelas menegaskan bahwa laporan keuangan BLUD harus didasarkan pada Standar akuntansi keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi. Hal ini menimbulkan pekerjaan ganda bagi rumah sakit. Meskipun berstatus BLUD penuh, secara organisatoris mereka adalah bagian dari organisasi perangkat pemerintah daerah, yang secara otomatis terikat dengan regulasi yang berlaku di pemerintahan daerah termasuk dalam hal ini adalah pencatatan, penyusunan, dan penerbitan laporan keuangan yang harus berbasis Standar Akuntansi Pemerintah.
- Pembangunan infrastruktur BLUD: SPM, Tata kelola, Sistem Akuntansi, dan Rencana Strategis Bisnis.
Sama halnya dengan RBA, kementerian dalam negeri tidak secara rinci mengatur mengenai format, materi, prosedur penyusunan, pengesahan, penetapan dan perubahan. Dampak yang paling terasa adalah, semua dokumen tersebut hanya menjadi pelengkap penderita untuk menjadikan lemari direktur rumah sakit terasa penuh dan kelihatan oleh awam bahwa rumah sakit telah dikelola dengan benar sesuai pola pengelolaan keuangan BLUD yang ditetapkan kementerian dalam negeri.
- Petanggungjawaban keuangan BLUD.
Tak adanya aturan mengenai perlakuan SILPA/SIKPA rumah sakit, penyusunan, pengakuan dan penetapannya serta penganggarannya di tahun depan, menyebabkan setiap pemerintah daerah memiliki kebijakan yang berbeda mengenai SILPA/SIKPA rumah sakit.
Begitulah faktanya sodara, maka pertanyaan berikutnya adalah menguji, benarkah Permendagri 79/2018 telah menjawab semua permasalahan tersebut?
Kita tunggu di postingan berikutnya.
One thought on “Mengapa Permendagri 61/2007 diganti?”