Sebagai sebuah institusi pemerintah yang memberikan layanan langsung kepada pengguna, BLUD tentu saja perlu kecepatan dalam memberikan respon layanan. Salah satu infrastruktur yang diharapkan membantu daya ungkit BLUD memberikan layanan adalah adanya regulasi pengadaan barang jasa (PBJ) yang bersifat khusus, yang dapat dijadikan referensi dan acuan hukum bagi pimpinan BLUD untuk menyelenggarakan PBJ dalam lingkup area operasionalnya.
Secara logika layanan, tesis tersebut layak diterapkan. Namun sejak Permendagri 61 terbiut tahun 2007, dan sekarang tergantikan dengan Permendagri 79 tahun 2018, harapan itu ternyata masih ada. Belum terealisir menjadi suatu ketentuan yang baku yang bisa diadopsi dan diterapkan dalam praktik PBJ BLUD.
Untuk mengawali bahasan ini, pokok-pokok pengaturan fleksibilitas PBJ BLUD dalam Permendagri 61 tahun 2007 dapat disajikan dalam poin sebagai berikut:
- Diberikan Fleksibilitas bila ada alasan efisiensi/efektifitas (Pasal 100).
- Prinsip PBJ BLUD: prinsip efisien, efektif,transparan, bersaing,adil/tidak diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat.(Pasal 99 ayat2).
- ketentuan PBJ ditetapkan oleh pemimpin BLUD dan disetujui kepala daerah (PAsal 101).
- menjamin ketersediaan B/J yang lebih bermutu, iebih murah, proses pengadaan yang sederhana dan cepat serta mudah menyesuaikan dengan kebutuhan untuk mendukung kelancaran pelayanan BLUD.(Pasal 101ayat (1)).
- PBJ yg dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1),diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam PERKADA
Keseluruhan poin PBJ BLUD diatas menunjukkan adanya fleksibilitas setengah hati pada PBJ BLUD. Kita kupas ya.
Poin 1.
Fleksibilitas PBJ diberikan bila ada alasan efisiensi/efektivitas. Fras aini adalah jebakan badman. Ingat ya ..BADMAN bukan BATMAN. Maka bila terjadi permasalahan PBJ , pada akhirnya peraturan/pedoman PBJ yang menjadi dasar pengadaan BJ BLUD akan diuji APH tentang efektifitas/efisiensi yang diperoleh dengan adanya pengecualian praktik PBJ dengan praktik yang diatur oleh pedoman PBJ terbitan LKPP. Pengujian efisien dan efektifitas akan lebih mudah dinilai bila pengadaan sudah terlaksana. Bukan pada saat masih rencana. Endingnya bisa ditebak.
Dalam rentang lima tahun, setidaknya ada 107 kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang ditangani oleh aparat penegak hukum dengan nilai kerugian mencapai Rp 543 miliar.
Linknya antara lain ada disini nih teman…
https://antikorupsi.org/id/article/sakitnya-korupsi-kesehatan
ayo lanjut ke poin ke 2.
Poin ini tidak begitu berbeda dengan poin pertama. Hanya berbeda sudut pandang dan focus. Bila poin 1 bicara efisiensi, maka poin kedua lebih diperluas denganmenambahkan Prinsip PBJ BLUD: prinsip efisien, efektif,transparan, bersaing,adil/tidak diskriminatif, akuntabel dan praktek bisnis yang sehat. Nah lho. Makin banyak yang harus disiapkan jawaban atas fleksibilitas dalam peraturan PBJ BLUD.
Permasalahan PBJ BLUD baru terungkap ke public bila ada salah satu pihak yang terkait dalam PBJ tersebut merasa dirugikan, merasa adanya diskriminasi dan ketidakadilan. Sebelum melaporkan masalah ini pada APH, mereka biasanya sudah menyiapkan bukti yang kuat dan cukup untuk mendukung laporan mereka. Dan lagi-lagi, operator/pelaksana PBJ BLUD tidak akan berkutik untuk lepas dari tuduhan pihak-pihak yang kalah dalam PBJ.
Poin ke 4: menjamin ketersediaan B/J yang lebih bermutu, iebih murah, proses pengadaan yang sederhana dan cepat serta mudah menyesuaikan dengan kebutuhan untuk mendukung kelancaran pelayanan BLUD, merupakan persyaratan yang mematikan bagi pelaksana PBJ BLUD. Sangat mudah bagi APH untuk membuktikan bahwa pengadaan yang diselenggarakan BLUD justru lebih mahal dengan kualitas rendah.
Kebanyakan BLUD terjebak pada poin kelima, bahwa yang dimaksud dengan peraturan pedoman PBJ BLUD adalah pengaturan tentang jenjang nilai, dengan mengabaikan poin-poin sebelumnya. Hal ini diperparah dengan adanya regulasi yang berlaku untuk BLU Pusat, yang terlebih dahulu menerbitkan pedoman tentang acuan jenjang nilai. Sehingga muncul simpulan atau asumsi bahwa fleksibilitas PBJ BLUD dengan level best practices adalah ketentuan jenjang nilai yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan untuk BLU yang berada dibawah koordinasinya.
Maka berjamaah lah BLUD untuk melakukan cloning atas ketentuan jenjang nilai tersebut dan mempublishnya sebagai sebuah ketentuan PBJ BLUD yang fleksibel. Dengan tidak menyadari bahwa sebenarnya telah ada praktik-praktik pengabaian terhadap prinsip-prinsip PBJ BLUD sebagaimana diatur dalam poin 1 s.d. 4 di atas.
Lalu bagaimana dengan Permendagri 79/2018 yang menggantikan Permendagri 61/2007?
Ikuti bahasannya dalam Fleksibilitas Pengadaan Barang dan Jasa BLUD Setengah Hati (part 2)
Sumber gambar: https://ledadiklat.com/bidang-sosialisasi-pengadaan-barang-jasa/